Rabu, 22 November 2017

72 Tahun Indonesia Merdeka: Sekilas Perjalanan Pendidikan di Bumi Indonesia


Oleh: Hendra Laksana Putra

“Pendidikan adalah salah satu wajah dari sebuah bangsa yang paling cepat mengalami perubahan. Karena pendidikan merupakan aspek yang menjadi penyebab dari perubahan itu sendiri. Perubahan demi perubahan itu meliputi penghapusan, penggantian, peningkatan, sekaligus penyesuaian suatu generasi terhadap keadaan yang dicita-citakan sebuah bangsa sesuai zamannya.”
-ooo-
72 tahun yang lalu Indonesia memulai pengakuan kemerdekaannya. Tak hanya sekedar teriakan proklamasi, kemerdekaan benar-benar mulai dirintis di berbagai lini, termasuk pendidikan. Berbagai sejarah dapat kita nikmati sebagai masa kelam dan letih perjuangan republik ini dalam menyongsong pendidikan, salah satunya sejarah berdirinya Universitas Kerakyatan, Universitas Gadjah Mada (UGM).
19 Desember 1949, UGM lahir sebagai salah satu bukti kebangkitan pendidikan nasional di Yogyakarta. Bukan tentang perayaan dan ajang bangga-bangga alay yang perlu diperhatikan, tetapi tentang sejarah pendiriannya. UGM yang berdiri sekitar 4 tahun selepas proklamasi tentu memiliki kepahitan tersendiri. Salah satunya adanya agresi militer Belanda ke-2 yang mengakibatkan lumpuhnya Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta waktu itu. Dan UGM mungkin menjadi saksi bahwa dalam suasana perang, pendidikan tak boleh dilupakan.
Kisah dari perjalanan pendidikan pasca kemerdekaan tentu berbeda dengan  30-an tahun setelahnya. Ya, orde baru. Bapak saya pernah bilang,”Jaman biyen iku enak le, tukang becak wae iso mangan enak. Ora koyo saiki, tukang becak angel. Wis ra payu. Sembarang yo larang (Dulu itu masih enak nak, tukang becak saja masih bisa makan enak. Tidak seperti sekarang, tukang becak susah. Sudah tidak laku. Ditambah semua serba mahal).” Mendengar penuturan bapak, saya hanya bisa menanggapinya dengan senyum di bibir dan secercah tanya di hati. Akan menjadi seperti apa Indonesia di zaman saya nanti?
Perkataan bapak saya itu mungkin saya dengar sekitar 10 tahun yang lalu. Dan sepertinya perkataan itu ada benarnya. Bapak saya lahir sekitar tahun 60-an. Artinya, masa pemerintahan Soeharto adalah warna yang paling banyak memengaruhi kehidupan beliau. Seperti kita ketahui bahwa banyak media yang memberitakan bahwa era Soeharto adalah era pembangunan besar-besaran di Indonesia. Sekaligus era hutang negara yang menggunung sebesar-besarnya. Tanpa ada media yang lekat di mata atau telinga, tentu informasi sangat minim terkait ini. Yang bisa dilihat hanya pembangunan di mana-mana, harga sembako murah, dan keamanan tingkat tinggi sekaligus pembungkaman opini. Maka sangat wajar jika penilaian rakyat terkait Soeharto hanya dari sisi indahnya saja. Seperti slogan sopir-sopir di jalan,”Penak jamanku to?”
Pendidikan seperti bukan hal yang diprioritaskan di orde baru. Satu-satunya yang baik dari orde baru adalah kesejahteraan ekonomi dan pembangunan yang diklaim cukup baik bagi sebagian rakyatnya. Pembangunan infrastruktur dan kestabilan ekonomi terlihat sehat waktu itu (menurut sebagian besar rakyat). Tetapi bagaimana dengan kesejahteraan para pembangun SDM-nya? Dan bagaimana nasib keberlanjutan dari SDM Indonesia waktu itu?
Lain cerita ketika reformasi 1998. Ketidaksiapan bangsa ini semakin terlihat jelas. Bahwa opini dibebaskan meluap (kebalikan orde baru). Tetapi fenomena krisis ekonomi juga membersamai teriakan rakyat yang katanya dari hati. Era itu memang sengaja disiapkan untuk meruntuhkan orde baru. Tetapi tak cukup terencana untuk menjalankan negara di waktu setelahnya. Siap mencopot, belum siap memasang.
Dampak dari pendidikan di orde baru sangat dirasakan ketika reformasi. Orde baru tidak diwarnai dengan kebebasan berpendapat. Opini dibungkam, pendidikan tenggelam. Proses berpikir hanya sebatas kajian, tak sampai pengutaraan. Ketika sudah tak tahan, reformasi menjadi pilihan. Dan tanpa pendidikan dan kesiapan yang matang, reformasi sangat mudah kebablasan.
-ooo-
Bagaimana dengan pendidikan Indonesia di tahun 2017 ini?
2 tahun setelah runtuhnya orde baru, 189 negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghasilkan sebuah kesepakatan yaitu MDGs (Millenium Development Goals). MDGs diadopsi oleh 189 negara dan ditanda-tangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara ketika konferensi tingkat tinggi di New York pada bulan September tahun 2000. Dan Indonesia merupakan salah satunya.
Target dari MDGs adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat tahun 2015. Untuk itu terdapat 8 poin target yaitu:
1.      menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
2.      mencapai pendidikan dasar secara universal;
3.      mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
4.      menurunkan angka kematian anak;
5.      meningkatkan kesehatan ibu;
6.      memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya;
7.      menjamin daya dukung lingkungan hidup; dan
8.      mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan.
MDGs tersebut kembali menjadikan pendidikan sebagai aspek yang diprioritaskan dalam pembangunan sejak awal reformasi. Bahkan sebelum berakhirnya MDGs di tahun 2015, Indonesia telah membumikan wajib belajar 9 tahun. Artinya, pendidikan Indonesia sudah memenuhi kebutuhan pendidikan dasar 9 tahun. Tetapi untuk wajib belajar 12 tahun, sepertinya masih diperlukan usaha yang jauh lebih keras lagi. Terlebih untuk pendidikan tinggi.
            Akhir tahun 2015 lalu merupakan ujung waktu dari kesepakatan MDGs dan awal dari sebuah platform baru yaitu SDGs (Sustainable Development Goals). Saat itu sebanyak 193 negara anggota PBB mengadopsi secaara aklamasi dokumen berjudul Transformasi Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development.
Pada dasarnya, antara MDGs maupun SDGs memiliki kesamaan cita-cita, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan. Tetapi dalam SDGs yang diharapkan tercapai di tahun 2030 mendatang, memiliki sejumlah tahapan-tahapan yang lebih rinci. Sehingga dalam SDGs terdapat 17 poin penting, yaitu terciptanya dunia dengan:
1.      tanpa kemiskinan;
2.      tanpa kelaparan;
3.      kesehatan yang baik dan kesejahteraan;
4.      pendidikan berkualitas;
5.      kesetaraan gender;
6.      air bersih dan sanitasi;
7.      energi bersih dan terjangkau;
8.      pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak;
9.      industri, inovasi, dan infrastruktur;
10.  pengurangan kesenjangan;
11.  keberlanjutan kota dan komunitas;
12.  konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab;
13.  aksi terhadap iklim;
14.  kehidupan bawah laut;
15.  kehidupan di darat;
16.  institusi peradilan yang kuat dan kedamaian; dan
17.  kemitraan untuk mencapai tujuan.
Dari aspek pendidikan pada platform SDGs memiliki sedikit perbedaan dari MDGs. Pada MDGs diberlakukan selama 15 tahun (2000-2015) untuk mencapai pendidikan dasar secara universal. Sedangkan untuk SDGs diberlakukan selama 15 tahun (2015-2030) menyasar kualitas pendidikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa wajib belajar 9 tahun harus segera ditanggalkan. Sedangkan wajib belajar 12 tahun harus segera dilepaskan dari wacana-wacana dan publikasi semata. Wajib belajar 12 tahun harus segera dicapai sebagai sebuah keharusan untuk mewadahi rakyat agar dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman yang sangat cepat dan signifikan.
Sesuai amanat UUD 1945, salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi sebagian besar masyarakat belum menikmati kemeriahan dunia pendidikan yang layak. Menurut data dari Kemendikbud tahun 2016, sekitar 4,3 juta anak tak mengenyam pendidikan dasar 9 tahun. Sehingga sekitar 40% angkatan kerja Indonesia merupakan tamatan Sekolah Dasar. Hal ini dapat menghambat upaya Indonesia dalam bersaing di kancah internasional.
Berbagai upaya dalam peningkatan kualitas pendidikan telah dilakukan pemerintah. Salah satunya adalah terkait 20% Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pendidikan. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) di tahun 2016, Indonesia meraih angka sebesar 0,689. Sehingga Indonesia termasuk dalam kategori pembangunan manusia menengah. Dan kesenjangan pendidikan yang terjadi di Indonesia jauh lebih tinggi dari rata-rata Asia Timur dan Pasifik. Sehingga dalam konteks perwujudan poin penting SDGs terkait pendidikan, mungkin Indonesia masih harus berjuang keras untuk mencapainya.
Wajib belajar gratis 9 tahun telah terselenggara dengan baik di Indonesia. Disusul dengan wajib belajar 12 tahun yang juga terselenggara di beberapa daerah di Indonesia. Bagaimana dengan pendidikan tinggi?
-ooo-
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan tinggi memegang peranan penting dalam membangun SDM yang berkualitas. Dengan adanya pendidikan tinggi diharapkan SDM semakin dekat dengan kesiapan dalam bersaing di dunia global yang kian tak berbatas ini. Diharapkan pula dengan adanya pendidikan tinggi berkualitas, pengentasan kemiskinan dapat dioptimalkan, kesenjangan dapat diminimalkan, dan cita-cita bangsa dapat segera diwujudkan.
“Ibarat ingin memanen padi, tetapi benih tak memadai.”
Keinginan untuk mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan tinggi lagi-lagi terhambat oleh kemiskinan itu sendiri. Pendidikan tinggi yang mahal, tak mampu disentuh kaum marginal. Dan lagi-lagi pemerintah harus segera mengatasi kemiskinan bertingkat ini dengan sebuah solusi puncak. Solusi yang dapat menghapuskan kemiskinan, tetapi mampu mengabaikan ketidak-mampuan masyarakat miskin untuk mencicipi pendidikan tinggi. Beasiswa Bidikmisi (Bantuan Pendidikan Mahasiswa Miskin Berprestasi) dan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) merupakan beberapa upaya dari pemerintah guna mengekspansikan ruang gerak masyarakat kurang mampu dalam menyentuh pendidikan tinggi.
Beasiswa Bidikmisi ditujukan untuk calon mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi tetapi juga memiliki prestasi. Di bawah pengelolaan Kemenritekdikti, diharapkan semakin banyak masyarakat kurang mampu yang bersemangat melanjutkan ke pendidikan tinggi. Pendidikan sarjana dan diploma dapat ditempuh secara cuma-cuma. Ditambah ada uang saku sebesar Rp 3.900.000,- persemester. Kuota bidikmisi tahun 2017 naik sebesar 15.000 mahasiswa dari tahun sebelumnya. Dengan kuota sebanyak 75.000 tersebut, sebenarnya sudah tidak ada alasan untuk tidak melanjutkan pendidikan tinggi bagi masyarakat kurang mampu.
Ternyata masih ada satu lagi permasalahan, yaitu terkait publikasi. Target beasiswa bidikmisi adalah masyarakat miskin. Dengan kemampuan akses dari masyarakat miskin di Indonesia, kira-kira apakah informasi bidikmisi itu sudah benar-benar sampai di telinga masyarakat yang menjadi target? Terkait publikasi ini sangat patut untuk dioptimalkan. Jangan sampai beasiswa yang didedikasikan untuk masyarakat miskin (mungkin tinggal di daerah minim akses dan informasi), malah tertuju pada oknum yang kurang tepat sasaran karena publikasi yang kurang.
Terkait LPDP, Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan menyatakan bahwa negara akan menggelontorkan dana sebesar 22,5 triliun rupiah untuk beasiswa di tahun 2017. LPDP merupakan beasiswa yang paling masyhur dan dicari oleh mahasiswa-mahasiswa pemburu beasiswa guna melanjutkan pendidikan pascasarjananya.
“Masih berpikir tidak mampu untuk kuliah?”
-ooo-
“Pendidikan adalah salah satu wajah dari sebuah bangsa yang paling cepat mengalami perubahan. Karena pendidikan merupakan aspek yang menjadi penyebab dari perubahan itu sendiri. Perubahan demi perubahan itu meliputi penghapusan, penggantian, peningkatan, sekaligus penyesuaian suatu generasi terhadap keadaan yang dicita-citakan sebuah bangsa sesuai zamannya.”
Pendidikan adalah kebutuhan vital suatu bangsa. Karena seperti apa generasi suatu bangsa di masa yang akan datang, bergantung pada bagaimana pendidikan generasi muda hari ini. Setiap zaman membawa masalah dan warnanya sendiri. Di era pasca kemerdekaan RI, mungkin pendidikan diiringi perjuangan menyingkirkan sisa-sisa penjajahan. Di era orde baru, mungkin pendidikan diiringi pembungkaman dan ketakutan untuk bersuara dan berdinamika. Di era reformasi, pendidikan diiringi dengan teriakan dan suara kebebasan yang kerap kebablasan. Dan hari ini, 72 tahun kemerdekaan RI, pendidikan masih diiringi lanjutan atau mungkin puncak dari bencana kebablasan reformasi.
Salah satu kebablasan reformasi adalah terkait kontroversi tranportasi online. Di 3 tahun terakhir tengah marak kontroversi transportasi online, mulai ojek, taksi, dan lain-lain. Pertentangan yang masih berlangsung sampai sekarang adalah perseteruan antara penyedia jasa tranportasi online dan konvensional. Mulai dari tarif, pelanggan, sampai tempat mangkal. Dari sedikit kejadian ini, pendidikan mulai berperan dalam penghapusan dan penggantian generasi yang tidak diinginkan.
Konflik antara penyedia jasa transportasi online dan konvensional ini adalah indikasi kesenjangan pendidikan. Mulai dari keterbukaan pola pikir, penguasaan teknologi, penerimaan terhadap pola sosial yang baru masih kurang. Bahkan kids jaman now saja bisa menilai sendiri, bahwa jasa yang lebih menguntungkan untuk digunakan adalah jasa transportasi online. Mulai dari rute dan harga yang pasti dan tidak meragukan, sampai pada pelayanan yang jauh lebih santun dari kebanyakan penyedia jasa transportasi konvensional. Kemajuan teknologi ini tentu akan memaksa secara perlahan penyedia jasa transportasi konvensional untuk beralih dan ikut penyedia jasa transportasi online. Kalau tidak mau, pasti akan tergusur oleh waktu dengan sendirinya.
Salah satu peran pendidikan adalah untuk menghapus dan mengganti generasi-generasi yang berontak dengan perubahan. Keterbukaan pandangan dan lebih menerima perubahan menjadikan konflik-konflik yang tidak penting (hanya menggugat ketidak-mampuan pribadi) dapat diminimalkan. Tetapi jika sekedar mengikuti perubahan, kapan menjadi yang terdepan? Dan disinilah pendidikan tinggi mengambil peran.
Pendidikan tinggi selalu mengharapkan generasi penerus bangsa mampu menjadi pionir dalam bidang-bidang yang ditekuni. Sehingga Indonesia akan dihantarkan menjadi salah satu negara pelopor perubahan. Beasiswa-beasiswa yang digelontorkan negara ini (seperti Bidikmisi dan LPDP) adalah untuk investasi generasi masa depan. Paling tidak, mampu lepas dari garis kemiskinan. Syukur jika menjadi penyumbang besar kemajuan dan pencapaian cita-cita bangsa, termasuk mewujudkan tujuan SDGs di 2030 mendatang.
Mengapa pendidikan begitu penting dan diperhatikan?
Karena pendidikan adalah satu-satunya yang mampu berkembang dan beradaptasi di segala zaman. Karena pendidikan pula cita-cita bangsa mampu diwujudkan oleh generasi emasnya.


Sleman, 12 November 2017








Referensi:
ugm.ac.id
www.kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar

 

Look & See

TERIMAKASIH

Selamat menikmati. Jangan ragu memberi komentar, karena dari cermin orang lain kita melihat hal yang selama ini tersembunyi menghalangi kita berdiri.

About

It's about US
semua tulisan di blog ini merupakan karya saya sendiri, Hendra Laksana Putra. Jika ada yang bukan dari saya, sebisa mungkin saya sertakan sumbernya. Mohon untuk di koreksi yaaaa . . . . Terimakasih. Don't forget to be happy . . . .