Senin, 16 Oktober 2017

Penak Jamanku to???

oleh: Hendra Laksana Putra

Hasil gambar untuk zaman
sumber gambar: www.arrahmah.co.id

"Penak Jamanku to?"
Sebuah kalimat yang sering kita lihat di meme atau bagian belakang truk-truk di jalan. Tetapi ini bukan tentang tujuan kalimat itu ada. Bukan tentang kepentingan politiknya, atau tujuan yang lainnya. Tetapi tentang kesetaraan dan kepantasan dalam perbandingannya.
Mulai dari generasi presiden RI pertama, kedua, ketiga, sampai yang saat ini menjabat, apakah dari mereka semua bisa diadu kontribusinya? Atau diadu kelemahannya? Tentu saja tidak bisa serta merta demikian.
Mulai dari presiden pertama sampai sekarang, tidak ada satupun yang menjabat di waktu yang sama. Kepentingan dari keberadaan mereka berbeda-beda sesuai zamannya. Orde lama Soekarno dengan berbagai perubahannya mungkin wujud terbaik pemerintahan di zamannya. Orde baru Soeharto mungkin juga demikian, terbaik di zamannya. Pun sampai reformasi dan pasca reformasi. Inilah salah satu keadilannya. Mungkin saja ....
Artinya, dalam setiap zaman, generasi, lokasi, dan lain-lain memiliki polanya sendiri, memiliki wujudnya sendiri, dan tentunya perlu disikapi dengan arif dan sesuai yang diperlukan di zamannya. Sungguh tidak arif bukan ketika ada pertanyaan, apakah Jokowi lebih baik dari Soekarno? Apakah SBY lebih baik dari Megawati? Dan seterusnya. Apakah Jokowi lebih baik dari Prabowo atau sebaliknya mungkin menjadi kajian tersendiri. Mungkin ....
-ooo-
Zaman dan waktu yang mengiringinya tentu memiliki polanya sendiri-sendiri. Zaman kakek nenek kita mungkin tak begitu perlu kendaraan bermotor. Selain keterbatasan finansial, memangnya mau dipakai kemana? Zaman bapak ibu kita, mungkin tak begitu perlu smartphone. Mau ngepoin siapa? Zaman saya dan anda mungkin sangat perlu keduanya. Kalau sampai kedua hal itu tidak terpenuhi, mungkin kefektifan hidup akan sangat berkurang. Walaupun keberadaan keduanya tak menjamin hidup seseorang akan lebih produktif. Penyalahgunaan adalah salah satu sebabnya.
Anak zaman sekarang juga tak bisa dibanding-bandingkan dengan anak zaman kemarin atau zaman kemarinnya lagi. Dulu anak-anak lebih suka permainan tradisional sepulang sekolah, sepak bola di waktu sore, dan lain-lain. Tetapi sekarang layar 5 inch itu yang di genggam. Mulai bangun tidur, berangkat sekolah, sepulang sekolah, saat kumpul dengan teman, bahkan saat guru-gurunya ceramah tentang pelajaran dan kehidupan. Ini menjadi biasa. Akibatnya, kegiatan sosial lebih cenderung maya, dan di dunia nyata menjadi bungkam. Tetapi informasi akan didapatkan dengan lebij cepat, apa-apa lebih mudah. Selalu ada efek postif dan negatif.
Hal-hal tersebut terjadi karena dinamika zaman yang sangat pesat akan perubahan. Maka perbandingan di selisih waktu 1 atau 2 tahun saja menjadi kurang relevan. Bahkan kita yang sekarang dengan kita di hari esok atau lusa pun mungkin berbeda.
Konsekuensinya adalah bahwa dengan saling membandingkan antar zaman dan waktu hanya membuat kita enggan bergerak dari masa lalu. Akibatnya, jika keadaan yang sekarang lebih baik, kita akan terlalu gembira. Dan jika lebih buruk, kita akan terlalu terpuruk. Padahal rencana demi rencana kita sedang ditunggu. Setiap kejadian dari zaman ke zaman, dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun selalu dinamis. Maka kearifan sikap kita juga harus dinamis. Bahkan harus lebih, baik kepada diri kita sendiri maupun kepada sesuatu yang lain.
Contoh yang sekarang sedang marak dan berkembang pesat adalah fenomena ojek online dan sejenisnya. Fenomena ini melanda beberapa kota besar, Yogyakarta misalnya.
Awal-awal kemunculan menuai pertentangan. Bahkan sampai sekarang. Kira-kira hal ini terjadi karena masyarakat yang belum bisa menyesuaikan, atau pelaku ojek online yang sangat terburu-buru? Atau mungkin sebab yang lain. Bahkan ojek online telah merekrut banyak pekerja dengan berbagai lulusan, bahkan sampai sarjana. Perkembangan kuantitas ojeknya sangat luar biasa. Hanya syarat HP dan perlengkapan berkendara saja, sudah bisa jadi tukang ojeknya. Syarat yang sangat mudah itu menimbulkan beberapa konflik. Mulai tukang ojek yang tidak setuju karena mungkin belum bisa mengikuti, sampai ketimpangan infrastruktur dan ekonomi karena jumlah tukang ojek onlinenya kian banyak tanpa penyeimbang dan kendali.
Bapak saya pernah bilang, dulu di zaman Soeharto tukang becak bisa makan enak. Sekarang? Hal ini karena Soeharto di zaman dulu, atau Jokowi di zaman sekarang? Tidak keduanya. Ini karena zamannya yang berbeda. Dinamikanya sudah lain.
Nha, sekarang waktunya kita. Kita siapa?
Sri Mulyani pernah bilang bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menghapus suatu generasi yang tidak diinginkan. Kurang lebih begitu. Sehingga kalau tak ingin menjadi generasi yang akan dihapuskan, maka sesuaikan diri. Salah satunya dengan pendidikan dan membangun pola pikir yang arif atau bahkan prediktif.
Zaman yang berdinamika sangat cepat ini tentu harus bisa kita ikuti dengan arif. Syukur jika kita adalah salah satu pionirnya. Bahwa membandingkan antar zaman itu tidak relevan untuk menyimpulkan keadaan. Tetapi melihat pola-pola yang lampau dan pola-pola yang sekarang terjadi menjadi sangat penting untuk menentukan bagaimana kita harus bersikap sekarang dan prediksi-prediksi yang mungkin akan terjadi ke depan.
Jadilah pembaca masa depan zaman!

11/10/17
-HeLP-

0 komentar:

Posting Komentar

 

Look & See

TERIMAKASIH

Selamat menikmati. Jangan ragu memberi komentar, karena dari cermin orang lain kita melihat hal yang selama ini tersembunyi menghalangi kita berdiri.

About

It's about US
semua tulisan di blog ini merupakan karya saya sendiri, Hendra Laksana Putra. Jika ada yang bukan dari saya, sebisa mungkin saya sertakan sumbernya. Mohon untuk di koreksi yaaaa . . . . Terimakasih. Don't forget to be happy . . . .