by : Hendra Laksana Putra
Sumber gambar : amaliajihan58.blogspot.com
Ku kayuh sepeda
Keluar gerbang sekolah
Arah mataku yang menunduk
Sapamu pertama kali ku dengar
Walau bagai sapaan lalu lalang pinggir jalan
Cerita yang ingin kau bagi
Kau tuangkan harapan merpati
Melambung tinggi
Enggan tuk kembali
Bagaimana mungkin merpati milik orang kau ingini
Milik kebebasan
Enggan tuk dikurung di bawah sangkar pertalian
Hingga kaki dan tangan mulai mengendur
Pahatan indah batu abadi tak lagi berbekas
Sapamu kedua kali ku dengar berbeda
Mulai layu, akar tunggang tumbang
Uluran tangan membawa sepercik air dan segenggam rona
kesuburan
Yakin akan tertanam lagi dan kembang
Kau dekap itu semua
Tak pernah terlintas apakah karena harapmu atau lukamu
Detik jarum jam dinding berdendang
Nuansa terdengar hanya detik
Langkahmu tak ku dengar
Sorot mata tajam tak pernah menghunusku
Tanah pijakan berbondong pergi
Bisik angin masuk sanubari
“Hei kau sedang apa?
Siapa kamu?
Siapa dia?”
Genggamku t’lah mati rasa
Ku daki puncak tertinggi
Duduk termenung sendiri
Memperhatikan marmut kecil dari sini
Yang mulai memunculkan giginya
Menemukan setengah kehidupan
Bahagiamu sampai kepadaku
"Aku bukan laki - laki yang baik. Apalagi untuk wanita sepertimu. Kau telah menjadi hebat mampu mengobati luka sendiri dan terus berlari. Ma'af jika aku adalah pecundang terbesar di hidupmu. Jika kita bertemu suatu hari nanti, tak apa kau mengingat ataupun lupa. Harapku adalah kita selalu bisa bertukar senyum dan sapa. Selamat untukmu telah jauh melampauiku, pecundang yang tertinggal."
13 Maret 2016
Sumber gambar : twitter.com/gwpecundang_
0 komentar:
Posting Komentar